Apabila diamati dengan seksama, terutama dikota-kota jama’ah masjid
makin hari makin banyak. Lebih-lebih kalau datang bulan Ramadhan, sampai tidak
muat. Untuk mengatasinya maka masjid terpaksa diperluas dan diperindah
bangunannya sesuai dengan arsitek modern. Demikian pula para khatib dan
penceramah pengajiannya, diambil juru-juru dakwah yang sarjana dan
berpengetahuan luar agar apa yang disampaikan bisa ilmiah, walaupun isinya
secara halus memperdaya keaslian hukum islam. Mubaligh atau penceramah yang
biasa disebut kiai, yang biasa menyampaikan hukum islam apa adanya agar kaum
muslimin mengerti hukum yang sebenarnya, digeser demi sedikit. Dan pada
akhirnya para sarjana itulah yang menceramahi dan mengkhatbahi para kiai yang
menjadi ma’mum dibelakang.
Apa hasilnya?
Masjid tidak lagi sebagai tempat menyampaikan sumber hukum yang asli,
jama’ah tidak lagi mendapatkan ilmu pengetahuan agama untuk diamalkan di
rumahnya, yang ada semangat islamnya sedang isinya kosong dari pengetahuan
islam yang sebenarnya. Maka sepulang dari jama’ah perilakunya tidak mewarnai
sebagai seorang islam. Hatinya tidak lagi mendapatkan hidayah dari masjid,
ceramah dan khutbah tidak lagi bisa berobah tingkah lakunya menjadi menjadi
baik sesuai dengan nafas masjid. Tinggallah masjid mentereng dengan bangunannya,
saying hidayahnya tidak menyinari jama’ahnya.
Lebih tragis lagi,
kalau membangun masjid karena perbedaan golongan, atau semata-mata untuk
mencari piala masjid itu dicat, dikapur dan dibersihkan. Mestinya masjid itu
dibangun berdasarkan taqwa.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak dan sesuai dengan topik dan pembahasan